Rabu, 25 Maret 2015

Diorama #Stage 18

Silahkan review cerita sebelumnya di stage 17 J


“ya—aku tahu, terlalu banyak pertanyaan. Well I’m so sorry, aku sama sekali gak bermaksud untuk yaa—kamu—kamu tahu apa” ucapnya dengan pandangan yang belum berubah
“oke. Aku terima permintaan maaf kamu. Dan boleh tahu apa maksud semua pertanyaan kamu tadi?” tanyaku
“apa maksudnya? Translate?kamu tidak mengerti dengan maksud ucapannya?” balasnya
“haha bukan seperti itu, tapi lebih ke, yaa—kamu mengajukan pertanyaan itu untuk siapa?” jawabku sambil terkekeh karena ucapannya, seolah olah yang aku tanyakan adalah arti dari kata kata itu
“apa tidak terlalu cepat jika aku yaa—apalah istilahnya mungkin—emm ‘curhat’ dengan seseorang yang baru aku temui” ujarnya sambil menyandarkan bahu ke badan bangku dan mulai melipat tangannya ke dadanya, dengan arah padangan masih keatas, menatap dirinya, menatap langit.
“dalam hubungan sosial, waktu tidak bisa menentukan seberapa besar kita mengenal seseorang. Terkadang  kita butuh waktu yang sangat lama mungkin bisa berbulan bulan atau bahkan bertahun tahun untuk dapat memahami seseorang. Atau terkadang kita hanya butuh waktu hanya beberapa jam untuk mengenal seseorang” ucapku
“ya kau benar. Kiara. Aku hanya butuh waktu beberapa detik untuk bisa menaruh perasaan yang dalam padanya. Tapi butuh waktu yang lama untuk dapat membuatnya merasakan hal yang sama” ujarnya
“kiara? Jadi ini semua soal Kiara? Pertanyaan kamu tadi untuk Kiara? Terlebih soal kata kata kamu yang ‘I hope that you were here accompany me and my be I’ll feel everything all right. What should I do to get back my life? To find the happiness which is lost’ apa kebahagiaan yang hilang itu adalah karena kepergian Kiara? Emm dan yang perlu kamu tahu perasaan itu tidak bisa di’buat’ seperti yang kamu bilang tadi. ” ujarku yang perlahan mulai menyandarkan punggung kebadan kursi mencoba untuk merasa lebih nyaman.
“seberapa tahu kamu soal Kiara? Kamu tahu bagaimana dia pergi? Dan saat dia pergi maka ada bagian dimana aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa? Ada bagian dimana separuh kebahagiaanku menghilang. Mungkin kamu belum pernah merasakan hal yang seperti itu, mungkin” ujarnya sambil mengangkat bahu dan terus memandang bintang.
“Kiara? Key? Aku mungkin gak pernah tahu pasti dia seperti apa, wajahnya, keperibadiannya, aku tidak tahu.
Elang, dia—dia banyak bercerita soal Key, bahkan bagaimana Key pergi. Mungkin aku pernah merasakannya atau mungkin aku memang belum pernah merasakannya. Tapi aku rasa kepergian Afa sama bundaku cukup untuk aku bisa merasakan hal seperti itu. Rasanya hanya ingin pergi—pergi menemui mereka dan kembali bersama mereka” ucapku tenang
“jadi Elang yang memberitahumu? Well Elang—aku cukup baik mengenalnya, dia bukan tipikal orang yang suka bercerita. Tapi mungkin kekamu dia berbeda. Entahlah. Terkadang aku merasa dia tetap masih sahabat terbaikku, tapi ketika aku melihat Kiara seolah Elang adalah musuhku. Afa?” ujarnya
“kematian atau kepergian seseorang, manusia sama sekali tidak pernah tahu. Mungkin jika kamu waktu itu ada diposisi Elang, Kiara masih akan mengalami hal yang sama. Karena yang aku tahu takdir akan kematian tidak bisa diganggu gugat. Untukku kematian tidak bisa dicegah walau kita meminta untuk menukar kematian seseorang dengan kematian kita sendiri. Lagi pula tujuan dari kehidupan ini adalah kematian kan? Jadi berhentilah menyalahkan keadaan. Terlihat kamu begitu menyayangi Kiara, maka banyak sekali yang bisa kamu lakukan, jadi seharusnya tidak ada pertanyaan ‘what should I do?’. Sepertinya kalian mempunyai kedekatan sendiri dengan Key, dan aku yakin Key disana pasti kecewa melihat dua orang terdekatnya berkelahi karena masalah kepergiannya. Well ini takdir, kita harus sadari itu. Soal Afa, dia seoarang sahabat kecil yang pergi meninggalkanaku disaat masa tersulitnya, kegagalan operasi karena kanker.”ujarku perlahan dan sangat tenang, dengan sedikit seulas senyuman untuk Langit.
“sepertinya aku harus belajar banyak soal takdir akan kematian haha. Entahlah kepergiannya yang begitu cepat membuat aku begitu sakit dan menderita. Kanker? Mengerikan yaa???. Baiklah aku hanya membutuhkan waktu,hanya itu, waktu dan mungkin pada akhirnya aku tidak akan pernah bertanya lagi. Dan heyyy!!! Bagiamana bisa aku mengungkapkan ini dengan seseorang  yang bahkan aku tidak mengenalnya. haha” ujarnya dengan tertawa kecil
“setidaknya kamu tahu namaku. Baiklah udara malam tidak terlalu baik untuk tubuh. Dan  didalam lebih hangat. Sepertinya lebammu sudah membaik? Baguslah. Ayo masuk!!!” ujarku dengan berdiri dan mulai melangkah menuju kedalam rumah.
“oh iya bagaimana menurut kamu Zira soal, emm—yya rasanya ‘kematian’. Emm—yes you know ‘Everything will be better if I die right now’..” ujar Langit yang masih terduduk dibangku taman.
“rasanya kematian? Mungkin kematian itu indah. Tapi percayalah, jika kamu melakukan hal hal yang bisa membuat nafaskamu berhenti sekarang itu sangat tidak indah. Kamu tahu kematian itu indah karena ‘proses’nya sendiri. Huaammm sebaiknya aku tidur” ujarku
“proses? Ah baik pergilah tidur”ucap Langit.
Lebam disamping bibirku masih terlihat dan masih terasa sakit. Ini pertama kalinya aku menerima pukulan dari seseorang dengan kerasnya. Tapi aku terlihat keren dengan lebam ini haha.
Keesokan harinya dipagi hari setelah aku bangun tak ada kegiatan yang berubah.
“haha. Wajah kamu sedikit aneh Lang, haha ayolah sini makanlah beberapa helai roti sebelum kesekolah.” Ujarku yang melihat Elang saat hendak akan mengambil sepatunya.
“emm—lebammu juga masih terlihat” balasanya sambil menunjukan bagian lebamku diwajahnya.
“haha tak apa, setidaknya aku berharap akan hilang saat oppa kembali” ucapku sambil menaruh selai coklat diatas roti tawarku. ”hay Langit,kemarilah isi perutmu disini. Aku harap kalian sudah berbaikan” tambahku saat melihat Langit keluar dari kamar mandi.
“oh—ya baiklah. Tenang kami sudah sering seperti ini.” Jawabnya ringan sambil tertawa kecil.
Diperjalanan  menuju sekolah aku sudah akan menduga kalau lebam lebam di wajah Elang dan satu lebam diwajahku akan mengundang beberapa pertanyaan dari teman teman sekolahku. Benar saja sesampainya disana setiap orang yang mengenalku dan Elang langsung menyuguhi kami dengan sebuah pertanyaan “kalian kenapa?wajah kalian?” tapi kami kompak hanya menjawabnya dengan seulas senyuman yang tak berarti.
“ou ou ou Zira? Itu lebam? wah aku tahu kamu sedikit tomboy, ah salah kamu tomboy. Tapi aku gak nyangka loh kamu hobby berantem sampai seperti itu. Dan Elang kamu benar benar harus bercermin, wajahmu itu kacau kawan!” ujar Saka saat kami mulai memasuki kelas. Diikuti dengan wajah wajah penuh tanda tanya dari teman kami yang lain
“gak usah banyak tanya!” ujar Elang tegas dan mulai duduk dimejanya.
Aku hanya mengangkat sebelah bahu dan tersenyum.
Sepulang sekolah Elang mampir terlebih dahulu kemakam Kiara. Tentu saja aku mengikutinya karena aku pulang bersamanya. Tapi dia lebih banyak diam hari ini, seperti orang bisu. Dan aku seperti wartawan yang diacuhkan. Bagaimana tidak pertanyaan yang aku ajukan tak pernah ditanggapinya. Menyebalkan.
“hay Key, ini aku bawa bunga lily buat kamu” ujar Elang sambil meletakannya diatas makam Kiara dan mulai duduk berlutut. ”maaf soal kejadian kemarin, antara aku dan Langit. Kamu lihat? Pesonamu membuat kami berdua sangat menyayangimu dan sulit untuk beralih. Mungkin iya jika malam itu kamu lebih memilih pergi ke ulang tahun Langit, kamu sampai saat ini masih ada disini. Maafkan aku Key, maaf. Aku harap kamu selalu bahagia diatas sana, dan saat aku pergi aku harap bisa bertemu denganmu.”
“yaa memang sebaiknya saat itu Key lebih memilihku. Tapi mungkin juga saat itu ketika Key akan menemuiku dia akan tetap pergi dengan cara yang sama atau mungkin berbeda. Lama aku harus memikirkan hal seperti ini. Untunglah ada yang menyadarkanku” ucap Langit tiba tiba dari belakangku dan sambil meliriku tajam, lalu berjalan kemakam Kiara.
Aku sendiri lebih memilih diam. Setidaknya aku yakin jika aku tinggalkan mereka tak akan melakukan hal bodoh seperti kemarin.
“temui aku di taman diujung sana, ketika kalian selesai” ujarku melangkah pergi.
Pertanyaan seputar apa yang terjadi diantara Elang, Langit dan Kiara terus berputar dikepalaku. Banyak sepekulasi yang muncul. Terlalu banyak jawaban yang mucul dan aku tidak tahu mana yang benar.
Dilihat dari bagaimana mereka berkata, bahkan bagaimana mereka berkelahi, dan mengingat perkata Elang dimakam tadi ’ Pesonamu membuat kami berdua sangat menyayangimu dan sulit untuk beralih’. Dan apa maksudnya dengan jika saja Kiara lebih memilih untuk menemui Langit dihari ulang tahunnya?. Saat dimana Kiara pergi, jika sesuai dengan apa yang pernah diceritakan Elang. Kiara pergi menemunya dihari ulang tahunnya. Itu berarti ulang tahun Elang dan Langit sama. Apa mereka membuat pilihan untuk Kiara? Elang atau Langit? Ahhhhh bodoh semua ini membuat aku semakin bingung. Huffff
“haha. Kamu ini kenapa Ra? Wajah kamu itu. Sangat menggelikan” ujar Elang yang muncul dari samping kananku diikuti Langit yang muncul disamping kiriku.
“benarkah?hmmm.” ujarku dengan nada melemah dan kepala sedikit menunduk menatap hijaunya rerumputan ditaman ini.
“tak apa kami sudah berbaikan. Jadi segalanya baik baik saja” ujar Langit yang bersandar didekat pepohonan sambil menyilangkan kaki dan berpangku tangan.
“kamu sendiri? Bagaimana rasanya orang yang kamu suka bersama orang lain, emm—sahabat, sahabat kamu sendiri” tanya Elang
“apa maksudmu?” dengan tatapan tepat ke mata Elang
“hey, tak usah menatapku seperti itu! Zafi? Kamu tahu persis apa” ujarnya
“Zafi? Tak apa aku bahagia. Lagi pula ketulusan itu tak harus dimiliki. Jika aku memberikan ketulusan padanya, dia tak harus memberikan hal yang sama” balasku ringan.
“ketulusan? Hmm cinta itu memang merepotkan” timpal Langit
“tapi indah bukan? Ada keindahan tersendiri bahkan ketika hanya sepihak atau lebih tepatnya bertepuk sebelah tangan. Hmmm ” ucapku dengan nada yang melemah
“indah jika saat hanya kita bisa memiliknya” balas Elang
“ahh sudahlah ayo kita pulang, aku lapar dan ingin mandi” ujarku berdiri dan mulai melangkah pergi. Setidaknya menghindari obrolan konyol seputar cinta.
Apa waktu memang harus terus berjalan? Tak bisakah kita menghentikannya?. Lelah rasanya terus mengikuti waktu.
Langit sudah kembali ke Bali jauh jauh hari, oppa sudah pulang dari bulan kemarin. Tak terasa liburan semester sekolah tiba juga, bahkan ini sudah lewat satu minggu.  Setelah menerima rapor aku belum mempunyai rencana untuk memikirkan akan liburan kemana? Sampai hai ini. Dan masih berada dirumah. Ya terkadang hanya berjalan jalan di kota Bandung dengan Elang juga oppa.
“Ra, itu ada teman kamu!” sahut oppa
Teman?
“iya oppa, aku turun” balasku
“Zafi?” aduh kenapa jantung aku masih berdetak begitu cepat dan keras setiap aku melihatnya. Yang benar saja masa iya perasaan ini masih begitu dalam untuknya. Aduh aku ini mikir apa sih Zira. Huuufff.
“hay Fi? Tumben. Ada apa?” tambahku
“oke kalau gitu aku tinggal ya, aku mau nemenin oppa dikebunnya” ucap Elang yang sepertinya tadi sedang menemani Zafi, setidaknya sampai aku datang menemuinya
“hay Ra,nih aku mau ngembaliin buku buku yang pernah aku pinjam. Maaf baru sempat yaa hehe” ujarnya
“oh iya gak apa apa.” Balasku ringan
“well kamu masih rutin kerumah sakit?” tanyanya
“iya, masih kok Bara sama Pasca juga sekarang udah mulai rutin lagi, Elang sama oppa kadang kadang juga ikut. Anak anak banyak yang nanyain kamu tuh” balasku. “eh bentar ya aku ambil minum dulu” tambahku
“oh iya kamu sendiri apa kabar? Seminggu kita gak ketemu. Feytsa gimana? Baik baik aja kan Fi? Liburan kemana nih?” ujarku sambil menyiapkan minuman untuk Zafi
“seperti yang kamu lihat, aku baik Ra! Feytsa juga kok, setidaknya setahu aku. Hmmm. Liburan? Biasalah waktu awal liburan aku ke Jakarta sama keluarga yaa refreshing lah ditaman bermain” ujarnya ringan.
“ini, siang siang gini emang paling enak minum juice hehe. Haha mending, nah aku? Haha dirumah aja. Ya paling hanya jalan jalan aja di mall mall di Bandung, ya gak aneh lah. Haha” ujarku “masih kan sama Feytsa? Soalnya selepas liburan gak ada kabar sama sekali.” Tambahku
“emm—enggak Ra, kita mutusin untuk berteman aja, karena sepertinya itu yang terbaik. Gak usah dibahas yaa. Oh iya nanti aku sering sering main kesini gak apa apa kan? Hehe. Tenang aku gak akan ganggu kamu, aku mau ganggu Elang. Lagi pula… lusa yang lain juga mau kesini” ujarnya
“Benarkah? Emm sayang sekali. Baiklah aku tidak akan memaksa untuk kamu menjelaskannya. Haha. Baguslah karena aku seminggu terakhir ini Langit akan kembali untuk liburan di Bandung, dan aku janji untuk nemenin dia haha” ucapku
“oh ya? Langit? Ohh teman Elang yang dari Bali itu?”
“iya” jawabku singkat
“oke, aku kesini hanya ingin mengembalikan itu. Aku  pamit pulang ya, lagi pula aku masih ada janji dengan seorang teman. Terima kasih ya Ra” ujarnya lalu meraih  jaket yang dilepasnya tadi.
“udah mau pulang? Oke aku antar sampai depan gerbang ya” ucapku
“boleh. Haha. Oke sampai ketemu besok lusa ya”
“mungkin. Hati  hati yaa” timpalku
Sebenarnya apa yang aku pikirkan tadi ketika melihat Zafi? Sebelumnya aku merasa jika aku sudah melupakannya ya walaupun sedikit. Tapi tunggu tadi Zafi bilang kalau dia dan Feytsa??? Putus???. Kenapa bisa secepat ini. Ah dari awal mereka bersamakan Zafi juga hanya ingin mencoba membalas perasaan Feytsa. Tapi apa kabar Feytsa setelah mereka..
“wooy ngelamun aja! Well kamu sudah tahu mereka bubar?” tanya Elang
“siapa yang bubar?” sahut oppa tiba tiba. “Ra, Elang oppa akan pergi makan siang dengan teman teman oppa. Kalian mau ikut?” tambahnya
“enggak oppa bukan siapa siapa kok, heehee. Oppa sama Elang aja oppa. Zira pengen istirahat nih. Ngantuk oppa, kan gak lucu kalau nanti Zira malah tidur diacaranya oppa. Lagian disana pasti oppa oppa semua deh kayak waktu itu” ujarku
“ya sudah oppa pergi sendiri saja. Kamu sama Elang jaga rumah baik baik. Inget jangan cekcok lagi oppa pusing dengernya. Ya sudah oppa mau siap siap” balasnya
“oke oppa ku yang ganteng” ujarku dengan seulas senyum. Setelah memastikan oppa pergi. “Kamu sih bubar bubar! Memangnya siapa yang bubar?” tanyaku
“aaahhh gak usah pura pura gitu deh. Hmm ya udah deh aku mau jemput Langit dibandara” ujarnya
“hah? Langit? Bukannya dia baru akan datang besok?” tanyaku heran
“tapi seneng kan?” goda Elang
“hmm apaan sih, ya udah sana pergi! Jauh jauh sana” kataku dengan tawa.
“oke deh yakin kamu gak mau ikut buat jemput Langit?” goda Elang sekali lagi padaku
Aku hanya mengacuhkannya dan melangkah pergi kearah kamar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar