Kamis, 16 Juli 2015

Maaf...

Teriring sebuah ilusi dalam rindu, teruntuk yang hatinya pernah terluka, karena lisan yang terlalu tajam, karena lisan yang berbisa. Sebuah kata maaf haruskah ku layangkan kembali? terlalu takut, bahkan kata maaf yang lalu belum tersentuhnya cenderung terabaikan. Untuk sebuah kesalahan, tidak.. beberapa kesalahan yang masih tak ku ketahui apa, sebuah alasan atau bahkan beberapa alasan yang membuatnya pergi tak menghiraukan, menjadikan keberadaanku dalam semu. Meski demikian, terlepas apapun alasannya yang ku tahu itu bersumber dariku, teruntuk yang pernah teramat menganggapku dalam waktunya, menghilangkanku mungkin tak masalah bagimu, namun kehilanganmu begitu berbekas. Teruntukmu yang pernah kupanggil sahabat, bisakah sekali saja kau panggil lagi namaku, bukan karena keadaan mendesak atau sebuah keharusan, tapi seperti dulu, dirimu yang selalu memanggil namaku bahkan jika hanya sekedar ingin memanggil namaku, entah itu untuk mendengar kisahmu atau hanya sekedar sapaan. Terlalu takut untuk mengungkit kembali dan berkata maaf, karena ketakutan kau akan semakin membenciku, hingga tak akan lagi kau panggil namaku. Ketakutan akan kata maaf yang akan terabaikan kembali. Bukan petama kali, namun ini menjadikannya hal pertama, seseorang yang mengambil langkah untuk sebuah kesalahan yang masih tak kupahami, cenderung dia yang mempercayai apa yang ingin dipercayanya. Sepertinya senja tak lagi jingga, hanya abu abu yang kusam, jika kusampaikan maaf akankah kau menerimanya? teruntuk dirimu yang menghilangkan keberadaanku, maaf jika ku bilang “dalam keberadaanmu aku hilang, dalam hilangmu aku ada” seolah dirimu adalah pusat magnet yang akan menarik semuanya kearahmu hingga tak ada yang terisisa untukku. Lagi ku titipkan maaf dalam doaku, sampaikah? 
Malam ini terlalu indah, gema takbir yang terlantun dalam setiap sudut bumi ini, apa yang kuungkap bisakah kau hiraukan, bisakah… tak apa jika sikapmu masih tak akan berubah, tak apa jika kau kan membuang kembali kata maaf yang kutujukan padamu, kau tahu setiap ku melihat namamu atau saat kita ada dilingkaran yang sama, dalam diam aku hanya bisa melirik kearahmu, berharap kau akan memanggil namaku, menunjukan senyuman dan tawa yang kini tak lagi pernah tertuju padaku, meski tak ku ketahui apa dan bagaimana, namun pada akhirnya penyesalan adalah milikku. Pengecut jika aku hanya meminta maaf dalam sebuah aksara yang kususun, semoga kita dipertemukan lagi kelak, hingga lisanku ini bisa berucap maaf dan menjabat tanganmu bahkan bisa memelukmu ukhti… Senang rasanya selalu bisa melihat senyum dan tawamu bahkan candamu, meski bukan untukku tak apa.. Tetaplah seperti itu terus bercengkrama dalam bahagiamu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar