Deretan aksaramu bertutur lagi, ahh tidak hanya aku yang baru melihatnya. Hai pengagum bangsa masihlah kau dengan dirimu sendiri, sederhana yang tidak pernah sederhana. Kau tahu jika aksaramu sebuah lilin untukku, mmm... cukuplah hanya menatap sebuah lilin dengan api kecilnya disaat aku marah atau saat aku dipermainkan oleh emosi negatifku, cahaya itu seketika akan medamaikan, cahaya yang akan selalu bersinar ditengah ruang gelap. Cahaya lilin seolah menjadi pengganti hal ajaib pertamaku, bintang... Sulitlah melihatnya kini, karena langit selalu saja telanjang, hingga kutemukan cahaya lain, ia hangat dan berpendar indah dalam gelap, entahlah seolah hal ajaibku yang lain. Penganggum bangsa, boleh kutanya ini "Kau, pernahkah merasa terpuruk?" Aku yakin pernah, tapi pada sisi yang lain, kau selalu menanggapinya dengan pikiran idealismu, dengan senyuman dan dengan pandanganmu yang tak pernah bisa kuprediksi. Banyak aksara yang kubuka dari rumahmu, ada barikade abjad yang kusuka "... tak terlihat bukan berarti tak ada". Kau tau, aku juga suka sunyi, kau bilang "... orang yang tak pernah bisa sendiri, tak bisa merasakan nikmatnya sunyi". Kesunyian adalah obat untukku, orang lain mungkin akan mengatakannya dengan buruk, tapi tahukah aku suka sunyi karena disitulah aku merasa penuh da tak sendirian, penuh akan angan, mimpi, harapan atau sejenisnya, menaruh penuh pikiranku yang hanya tak kutujukan untuk diriku sendiri. Hai kau sang pengangum bangsa, teruslah mengaksara, rasanya ingin beradu aksara denganmu, tapi sepertinya aku akan kalah, aksaramu hanya... mmm terlalu sempurna? sampai aku dibuat merinding dibuatnya, sesekali tersenyum dan tertawa atau hanya ekspresi kagum yang muncul dengan sendirinya tanpa diketahui alam sadar. Kau pasti sibuk sekali ya? dalam sibukmu masihlah kau peduli, dalam sibukmu masilah dirimu menjadi dirimu. Rumahmu itu akan sering ku kunjungi, tak apa kan? untuk selalu melihat aksaramu, yang akan menjadikanku iri dan mengikuti perlahan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar