Rabu, 23 September 2015

Surat yang tersesat

Ceriamu memang tak lagi dapat terlukis dengan jelas dalam kanvas, namun tahukah? sama seperti angin, mungkin aku tak bisa melihatnya ketika ia datang, namun masih bisa kurasakan. Ini seperti sesuatu yang tak dapat kau ukir lalu kau bekukan dengan sebuah lensa kamera, seperti menggerakkan jarimu diatas permukaan air, jari jarimu bergerak membentuk sebuah pola namun tak bisa kau lihat hasilnya, lagi… tak ada bukan berarti tiada. Awalnya hanya sebuah kertas kosong, tanpa ada irama yang membuat jemariku tergerak untuk menumpahkan tinta kedalamnya, boleh kubilang jika itu dulu?
Puitis, itulah dirimu yang didefiniskan oleh susunan susunan abjad yang kau gulirkan dalam rasa, sederhana namun jauh dari itu, sederhana yang tak pernah menjadikannya sederhana. “Tersesat” ingatkah? jika ingatanku mengingatkanku dengan tepat itu adalah sebuah kata pertama yang kau suka dariku, hingga tak lama detik waktu dalam arlojimu berselang, sebuah karya dalam melodi sastramu muncul di kamar pribadimu. Jika bukan dan kau tak kebertan, izinkan aku untuk menganggapnya seperti itu, karena tulisanmu adalah penyulut api untukku dalam kebaikan abjad.
Romantis, yaa… puitis yang romantis tak pernah hilang makna, beralaskan ketulusan adalah pondasi dalam setiap bulir waktumu. Aku tahu, waktu memang tak lagi sama, mungkin iramanya yang berbeda, atau ada beberapa irama yang hilang, atau mungkin iramanya mulai mengasingkan diri dariku, hingga tak lagi aku merasa. Puitis… romantis… tulus, masih kugunakan koma disana, karena tak berhenti disana sosokmu selalu kukagumi.
Sungguh, ada waktu yang teramat ajaib untukku, saat Tuhan mengaturkan lingkaran yang sama. Hangat dan menyenangkan, tambahan dalam koma, seperti dalam sebuah drama yang pernah kusaksikan, hangat akan membuat kenyamanan, dan menyenangkan akan menjadi sebuah pelengkap. Apa aku terlalu banyak membual tentangmu? Kurasa tidak, saat ini aku tak dapat menuliskan kata yang tepat untuk menggambarkan dirimu, sehingga kepingan acak ini tak bisa membuatnya utuh. 
Rinduku memang kadang kusampaikan, tapi terlalu banyak yang tak dapat kusampaikan langsung. Kau pernah menjadi perantara dalam mengatakannya padaku, potongan kata yang tak sama, namun ini yang ada dalam kotak memoriku “Untuk apa bilang rindu, jika bertemupun tidak” ahhh yaa, aku tahu kurasa tidak seperti itu bukan? Namun akankah kerinduanku tersampaikan? karena yang aku tahu, rindu tahu kemana dia harus pergi
“Kak” terima kasih, telah menginsipirasi, maafku terlalu banyak untuk disampaikan, jadi bisakah kuringkas saja ? Tetaplah dengan caramu, puitis, romantis, tulus, ceria, hangat dan menyenangkan, tentu dirimu juga pintar dan cerdas, kak… tetaplah bercerita dalam kamar pribadimu, karena hanya lewat pintu itulah aku setidaknya bisa merasakan hadirmu, dan kembali bisa merasa. Terima kasih untuk waktumu yang pernah singgah, sangat menyenangkan ketika berada dalam waktu yang sama denganmu. Kerinduanku kini akan berwujud doa, aku tahu Tuhan akan menyampaikannya, mungkin lewat angin, hujan atau langit malam yang tengah kau tatap. Untukmu penikmat kopi, ini bukanlah surat yang puitis apalagi romantis, tetaplah cantik, haha… ku tahu kau akan tetap cantik meski usiamu kelak masuk 70-an  karena kecantikan hatimu adalah abadi yang selalu dibentengi dengan ketegaran dan ketulusan. Salamku untukmu yang selalu sayang pada malaikat malaikat kecil yang kerap kau temui. Semoga Tuhan akan kembali mengatur waktu kembali.
Kutahu surat ini akan tersesat, namun jika kelak kau berkunjung ke kamarku, kuharap kau mengetahuinya, jika surat ini kutujukan untukmu… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar