Kini segalanya
terasa aneh dan harus menjadi berbeda, karena aku tak mungkin menetapkan hati
ini lagi, kini jika hanya ada aku, Hani dan Bara maka aku akan memilih pergi
sungguh selalu menjadi hal yang indah saat melihat seyuman seorang sahabat yang
tengah bahagia meski ada sesuatu yang terasa tak nyaman dengan apa yang kau
sebut perasaan. Suatu hari hanya ada aku dan Bara di salah satu meja
perpustakaan, “Hai” sapanya dengan hangat seperti biasanya, aku hanya membalas
sekedarnya, “ini aku yang ngerasa GR atau kamu yang emang sekarang sekarang
menghindar Ve?” ujarnya tanpa menatapku, dia hanya menatap sebuah novel yang
entah dia baca atau tidak, “mengindar? Tak ada alasan untuk melakukannya, hanya
mungkin kamu GR” ujarku dengan seulas senyum yang kupaksakan, ohh Tuhan aku
harap dia tak menyadarinya, “Baiklah” singkatnya lalu pergi. Aku hanya menghela
nafas dengan berat memandangi punggungnya yang semakin menjauh dan kemudian
hilang tak bisa kujamah dengan indra pengelihatanku. Aku menutup wajahku dengan
sebuah novel yang tengah kupegang.
Bel dering
pulang sekolah berbunyi seperti biasa aku pulang harus berjalan kaki hingga
bisa mencapai jalan raya kurang lebih 400 meter, sampai digerbang sekolah
seseorang menyapaku “Hai, ayo naik.. aku antar sampai depan tempat kamu biasa
naik angkutan umum” ujar Bara yang mengagetkanku, sebelumnya dia tak pernah
mengajakku seperti ini, aku melihat sekeliling jika ada Hani maka aku akan
hanya melepasnya pergi dengan penyeselan, namun tak sempat aku melihat
sekeliling Bara menarik tanganku dan mengisyaratkanku untuk naik motor
merahnya. Tanpa berusaha menolak aku menurut, tapi tunggu Bara tiba tiba berhenti
disebuah tempat makan bakso tempat kita ber-5 biasa mengobrol atau sekedar
mengerjakan tugas. “kamu mau makan? Baiklah aku pulang jalan kaki dari sini.
Terima kasih” tuturku padanya dengan seulas senyum, belum aku melangkah Bara
menarik tanganku dan mendorongku duduk disalah satu meja tempat makan bakso itu
“Bang, bakso yamin 2 ya, yang satu gak pake bawang goreng” ujarnya pada bang
Trisno, abang penjual bakso. ‘Tanpa bawang’ itu yang selalu ku pesan, aku tidak
menyukai tanpa alasan. Aku hanya terdiam menunggu Bara membuka pembicaraan…
“Jujur, ada apa?
Kamu mungkin gak tahu kalau aku tahu saat kamu berbohong. Aku kasih kamu 5
menit… kasih tahu aku alasan kamu menghindar, apa aku berbuat sesuatu yang
salah?” ucap Bara dengan menatap mataku, dan ini pertama kalinya aku merasa
Bara benar benar melihat kedalam mataku, “Bukan menghindar… tapi memberikan
kesempatan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar