“ya—aku
tahu, terlalu banyak pertanyaan. Well I’m so sorry, aku sama sekali gak
bermaksud untuk yaa—kamu—kamu tahu apa” ucapnya dengan pandangan yang belum
berubah
“oke.
Aku terima permintaan maaf kamu. Dan boleh tahu apa maksud semua pertanyaan
kamu tadi?” tanyaku
“apa
maksudnya? Translate?kamu tidak mengerti dengan maksud ucapannya?” balasnya
“haha
bukan seperti itu, tapi lebih ke, yaa—kamu mengajukan pertanyaan itu untuk
siapa?” jawabku sambil terkekeh karena ucapannya, seolah olah yang aku tanyakan
adalah arti dari kata kata itu
“apa
tidak terlalu cepat jika aku yaa—apalah istilahnya mungkin—emm ‘curhat’ dengan
seseorang yang baru aku temui” ujarnya sambil menyandarkan bahu ke badan bangku
dan mulai melipat tangannya ke dadanya, dengan arah padangan masih keatas,
menatap dirinya, menatap langit.
“dalam
hubungan sosial, waktu tidak bisa menentukan seberapa besar kita mengenal
seseorang. Terkadang kita butuh waktu
yang sangat lama mungkin bisa berbulan bulan atau bahkan bertahun tahun untuk
dapat memahami seseorang. Atau terkadang kita hanya butuh waktu hanya beberapa
jam untuk mengenal seseorang” ucapku
“ya
kau benar. Kiara. Aku hanya butuh waktu beberapa detik untuk bisa menaruh
perasaan yang dalam padanya. Tapi butuh waktu yang lama untuk dapat membuatnya
merasakan hal yang sama” ujarnya
“kiara?
Jadi ini semua soal Kiara? Pertanyaan kamu tadi untuk Kiara? Terlebih soal kata
kata kamu yang ‘I hope that you were here accompany me and my be I’ll feel
everything all right. What should I do to get back my life? To find the
happiness which is lost’ apa kebahagiaan yang hilang itu adalah karena
kepergian Kiara? Emm dan yang perlu kamu tahu perasaan itu tidak bisa di’buat’
seperti yang kamu bilang tadi. ” ujarku yang perlahan mulai menyandarkan
punggung kebadan kursi mencoba untuk merasa lebih nyaman.
“seberapa
tahu kamu soal Kiara? Kamu tahu bagaimana dia pergi? Dan saat dia pergi maka
ada bagian dimana aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa? Ada bagian dimana
separuh kebahagiaanku menghilang. Mungkin kamu belum pernah merasakan hal yang
seperti itu, mungkin” ujarnya sambil mengangkat bahu dan terus memandang
bintang.
“Kiara?
Key? Aku mungkin gak pernah tahu pasti dia seperti apa, wajahnya,
keperibadiannya, aku tidak tahu.
Elang,
dia—dia banyak bercerita soal Key, bahkan bagaimana Key pergi. Mungkin aku
pernah merasakannya atau mungkin aku memang belum pernah merasakannya. Tapi aku
rasa kepergian Afa sama bundaku cukup untuk aku bisa merasakan hal seperti itu.
Rasanya hanya ingin pergi—pergi menemui mereka dan kembali bersama mereka”
ucapku tenang
“jadi
Elang yang memberitahumu? Well Elang—aku cukup baik mengenalnya, dia bukan
tipikal orang yang suka bercerita. Tapi mungkin kekamu dia berbeda. Entahlah.
Terkadang aku merasa dia tetap masih sahabat terbaikku, tapi ketika aku melihat
Kiara seolah Elang adalah musuhku. Afa?” ujarnya
“kematian
atau kepergian seseorang, manusia sama sekali tidak pernah tahu. Mungkin jika
kamu waktu itu ada diposisi Elang, Kiara masih akan mengalami hal yang sama.
Karena yang aku tahu takdir akan kematian tidak bisa diganggu gugat. Untukku
kematian tidak bisa dicegah walau kita meminta untuk menukar kematian seseorang
dengan kematian kita sendiri. Lagi pula tujuan dari kehidupan ini adalah
kematian kan? Jadi berhentilah menyalahkan keadaan. Terlihat kamu begitu
menyayangi Kiara, maka banyak sekali yang bisa kamu lakukan, jadi seharusnya
tidak ada pertanyaan ‘what should I do?’. Sepertinya kalian mempunyai kedekatan
sendiri dengan Key, dan aku yakin Key disana pasti kecewa melihat dua orang
terdekatnya berkelahi karena masalah kepergiannya. Well ini takdir, kita harus
sadari itu. Soal Afa, dia seoarang sahabat kecil yang pergi meninggalkanaku
disaat masa tersulitnya, kegagalan operasi karena kanker.”ujarku perlahan dan
sangat tenang, dengan sedikit seulas senyuman untuk Langit.
“sepertinya
aku harus belajar banyak soal takdir akan kematian haha. Entahlah kepergiannya
yang begitu cepat membuat aku begitu sakit dan menderita. Kanker? Mengerikan
yaa???. Baiklah aku hanya membutuhkan waktu,hanya itu, waktu dan mungkin pada
akhirnya aku tidak akan pernah bertanya lagi. Dan heyyy!!! Bagiamana bisa aku
mengungkapkan ini dengan seseorang yang
bahkan aku tidak mengenalnya. haha” ujarnya dengan tertawa kecil
“setidaknya
kamu tahu namaku. Baiklah udara malam tidak terlalu baik untuk tubuh. Dan didalam lebih hangat. Sepertinya lebammu
sudah membaik? Baguslah. Ayo masuk!!!” ujarku dengan berdiri dan mulai
melangkah menuju kedalam rumah.
“oh
iya bagaimana menurut kamu Zira soal, emm—yya rasanya ‘kematian’. Emm—yes you
know ‘Everything will be better if I die right now’..” ujar Langit yang masih
terduduk dibangku taman.
“rasanya
kematian? Mungkin kematian itu indah. Tapi percayalah, jika kamu melakukan hal
hal yang bisa membuat nafaskamu berhenti sekarang itu sangat tidak indah. Kamu
tahu kematian itu indah karena ‘proses’nya sendiri. Huaammm sebaiknya aku
tidur” ujarku
“proses?
Ah baik pergilah tidur”ucap Langit.
Lebam
disamping bibirku masih terlihat dan masih terasa sakit. Ini pertama kalinya
aku menerima pukulan dari seseorang dengan kerasnya. Tapi aku terlihat keren
dengan lebam ini haha.
Keesokan
harinya dipagi hari setelah aku bangun tak ada kegiatan yang berubah.
“haha.
Wajah kamu sedikit aneh Lang, haha ayolah sini makanlah beberapa helai roti
sebelum kesekolah.” Ujarku yang melihat Elang saat hendak akan mengambil
sepatunya.
“emm—lebammu
juga masih terlihat” balasanya sambil menunjukan bagian lebamku diwajahnya.
“haha
tak apa, setidaknya aku berharap akan hilang saat oppa kembali” ucapku sambil
menaruh selai coklat diatas roti tawarku. ”hay Langit,kemarilah isi perutmu
disini. Aku harap kalian sudah berbaikan” tambahku saat melihat Langit keluar
dari kamar mandi.
“oh—ya
baiklah. Tenang kami sudah sering seperti ini.” Jawabnya ringan sambil tertawa
kecil.
Diperjalanan menuju sekolah aku sudah akan menduga kalau
lebam lebam di wajah Elang dan satu lebam diwajahku akan mengundang beberapa
pertanyaan dari teman teman sekolahku. Benar saja sesampainya disana setiap
orang yang mengenalku dan Elang langsung menyuguhi kami dengan sebuah
pertanyaan “kalian kenapa?wajah kalian?” tapi kami kompak hanya menjawabnya
dengan seulas senyuman yang tak berarti.
“ou
ou ou Zira? Itu lebam? wah aku tahu kamu sedikit tomboy, ah salah kamu tomboy.
Tapi aku gak nyangka loh kamu hobby berantem sampai seperti itu. Dan Elang kamu
benar benar harus bercermin, wajahmu itu kacau kawan!” ujar Saka saat kami
mulai memasuki kelas. Diikuti dengan wajah wajah penuh tanda tanya dari teman
kami yang lain
“gak
usah banyak tanya!” ujar Elang tegas dan mulai duduk dimejanya.
Aku
hanya mengangkat sebelah bahu dan tersenyum.
Sepulang
sekolah Elang mampir terlebih dahulu kemakam Kiara. Tentu saja aku mengikutinya
karena aku pulang bersamanya. Tapi dia lebih banyak diam hari ini, seperti
orang bisu. Dan aku seperti wartawan yang diacuhkan. Bagaimana tidak pertanyaan
yang aku ajukan tak pernah ditanggapinya. Menyebalkan.
“hay
Key, ini aku bawa bunga lily buat kamu” ujar Elang sambil meletakannya diatas
makam Kiara dan mulai duduk berlutut. ”maaf soal kejadian kemarin, antara aku
dan Langit. Kamu lihat? Pesonamu membuat kami berdua sangat menyayangimu dan
sulit untuk beralih. Mungkin iya jika malam itu kamu lebih memilih pergi ke
ulang tahun Langit, kamu sampai saat ini masih ada disini. Maafkan aku Key,
maaf. Aku harap kamu selalu bahagia diatas sana, dan saat aku pergi aku harap
bisa bertemu denganmu.”
“yaa
memang sebaiknya saat itu Key lebih memilihku. Tapi mungkin juga saat itu
ketika Key akan menemuiku dia akan tetap pergi dengan cara yang sama atau
mungkin berbeda. Lama aku harus memikirkan hal seperti ini. Untunglah ada yang
menyadarkanku” ucap Langit tiba tiba dari belakangku dan sambil meliriku tajam,
lalu berjalan kemakam Kiara.
Aku
sendiri lebih memilih diam. Setidaknya aku yakin jika aku tinggalkan mereka tak
akan melakukan hal bodoh seperti kemarin.
“temui
aku di taman diujung sana, ketika kalian selesai” ujarku melangkah pergi.
Pertanyaan
seputar apa yang terjadi diantara Elang, Langit dan Kiara terus berputar
dikepalaku. Banyak sepekulasi yang muncul. Terlalu banyak jawaban yang mucul
dan aku tidak tahu mana yang benar.
Dilihat
dari bagaimana mereka berkata, bahkan bagaimana mereka berkelahi, dan mengingat
perkata Elang dimakam tadi ’ Pesonamu membuat kami berdua sangat menyayangimu
dan sulit untuk beralih’. Dan apa maksudnya dengan jika saja Kiara lebih
memilih untuk menemui Langit dihari ulang tahunnya?. Saat dimana Kiara pergi,
jika sesuai dengan apa yang pernah diceritakan Elang. Kiara pergi menemunya
dihari ulang tahunnya. Itu berarti ulang tahun Elang dan Langit sama. Apa
mereka membuat pilihan untuk Kiara? Elang atau Langit? Ahhhhh bodoh semua ini
membuat aku semakin bingung. Huffff
“haha.
Kamu ini kenapa Ra? Wajah kamu itu. Sangat menggelikan” ujar Elang yang muncul
dari samping kananku diikuti Langit yang muncul disamping kiriku.
“benarkah?hmmm.”
ujarku dengan nada melemah dan kepala sedikit menunduk menatap hijaunya
rerumputan ditaman ini.
“tak
apa kami sudah berbaikan. Jadi segalanya baik baik saja” ujar Langit yang
bersandar didekat pepohonan sambil menyilangkan kaki dan berpangku tangan.
“kamu
sendiri? Bagaimana rasanya orang yang kamu suka bersama orang lain,
emm—sahabat, sahabat kamu sendiri” tanya Elang
“apa
maksudmu?” dengan tatapan tepat ke mata Elang
“hey,
tak usah menatapku seperti itu! Zafi? Kamu tahu persis apa” ujarnya
“Zafi?
Tak apa aku bahagia. Lagi pula ketulusan itu tak harus dimiliki. Jika aku
memberikan ketulusan padanya, dia tak harus memberikan hal yang sama” balasku
ringan.
“ketulusan?
Hmm cinta itu memang merepotkan” timpal Langit
“tapi
indah bukan? Ada keindahan tersendiri bahkan ketika hanya sepihak atau lebih
tepatnya bertepuk sebelah tangan. Hmmm ” ucapku dengan nada yang melemah
“indah
jika saat hanya kita bisa memiliknya” balas Elang
“ahh
sudahlah ayo kita pulang, aku lapar dan ingin mandi” ujarku berdiri dan mulai
melangkah pergi. Setidaknya menghindari obrolan konyol seputar cinta.
Apa
waktu memang harus terus berjalan? Tak bisakah kita menghentikannya?. Lelah
rasanya terus mengikuti waktu.
Langit
sudah kembali ke Bali jauh jauh hari, oppa sudah pulang dari bulan kemarin. Tak
terasa liburan semester sekolah tiba juga, bahkan ini sudah lewat satu
minggu. Setelah menerima rapor aku belum
mempunyai rencana untuk memikirkan akan liburan kemana? Sampai hai ini. Dan
masih berada dirumah. Ya terkadang hanya berjalan jalan di kota Bandung dengan
Elang juga oppa.
“Ra,
itu ada teman kamu!” sahut oppa
Teman?
“iya
oppa, aku turun” balasku
“Zafi?”
aduh kenapa jantung aku masih berdetak begitu cepat dan keras setiap aku
melihatnya. Yang benar saja masa iya perasaan ini masih begitu dalam untuknya.
Aduh aku ini mikir apa sih Zira. Huuufff.
“hay
Fi? Tumben. Ada apa?” tambahku
“oke
kalau gitu aku tinggal ya, aku mau nemenin oppa dikebunnya” ucap Elang yang
sepertinya tadi sedang menemani Zafi, setidaknya sampai aku datang menemuinya
“hay
Ra,nih aku mau ngembaliin buku buku yang pernah aku pinjam. Maaf baru sempat
yaa hehe” ujarnya
“oh
iya gak apa apa.” Balasku ringan
“well
kamu masih rutin kerumah sakit?” tanyanya
“iya,
masih kok Bara sama Pasca juga sekarang udah mulai rutin lagi, Elang sama oppa
kadang kadang juga ikut. Anak anak banyak yang nanyain kamu tuh” balasku. “eh
bentar ya aku ambil minum dulu” tambahku
“oh
iya kamu sendiri apa kabar? Seminggu kita gak ketemu. Feytsa gimana? Baik baik
aja kan Fi? Liburan kemana nih?” ujarku sambil menyiapkan minuman untuk Zafi
“seperti
yang kamu lihat, aku baik Ra! Feytsa juga kok, setidaknya setahu aku. Hmmm.
Liburan? Biasalah waktu awal liburan aku ke Jakarta sama keluarga yaa
refreshing lah ditaman bermain” ujarnya ringan.
“ini,
siang siang gini emang paling enak minum juice hehe. Haha mending, nah aku?
Haha dirumah aja. Ya paling hanya jalan jalan aja di mall mall di Bandung, ya
gak aneh lah. Haha” ujarku “masih kan sama Feytsa? Soalnya selepas liburan gak
ada kabar sama sekali.” Tambahku
“emm—enggak
Ra, kita mutusin untuk berteman aja, karena sepertinya itu yang terbaik. Gak
usah dibahas yaa. Oh iya nanti aku sering sering main kesini gak apa apa kan?
Hehe. Tenang aku gak akan ganggu kamu, aku mau ganggu Elang. Lagi pula… lusa
yang lain juga mau kesini” ujarnya
“Benarkah?
Emm sayang sekali. Baiklah aku tidak akan memaksa untuk kamu menjelaskannya.
Haha. Baguslah karena aku seminggu terakhir ini Langit akan kembali untuk
liburan di Bandung, dan aku janji untuk nemenin dia haha” ucapku
“oh
ya? Langit? Ohh teman Elang yang dari Bali itu?”
“iya”
jawabku singkat
“oke,
aku kesini hanya ingin mengembalikan itu. Aku
pamit pulang ya, lagi pula aku masih ada janji dengan seorang teman.
Terima kasih ya Ra” ujarnya lalu meraih
jaket yang dilepasnya tadi.
“udah
mau pulang? Oke aku antar sampai depan gerbang ya” ucapku
“boleh.
Haha. Oke sampai ketemu besok lusa ya”
“mungkin.
Hati hati yaa” timpalku
Sebenarnya
apa yang aku pikirkan tadi ketika melihat Zafi? Sebelumnya aku merasa jika aku
sudah melupakannya ya walaupun sedikit. Tapi tunggu tadi Zafi bilang kalau dia
dan Feytsa??? Putus???. Kenapa bisa secepat ini. Ah dari awal mereka bersamakan
Zafi juga hanya ingin mencoba membalas perasaan Feytsa. Tapi apa kabar Feytsa
setelah mereka..
“wooy
ngelamun aja! Well kamu sudah tahu mereka bubar?” tanya Elang
“siapa
yang bubar?” sahut oppa tiba tiba. “Ra, Elang oppa akan pergi makan siang
dengan teman teman oppa. Kalian mau ikut?” tambahnya
“enggak
oppa bukan siapa siapa kok, heehee. Oppa sama Elang aja oppa. Zira pengen
istirahat nih. Ngantuk oppa, kan gak lucu kalau nanti Zira malah tidur
diacaranya oppa. Lagian disana pasti oppa oppa semua deh kayak waktu itu”
ujarku
“ya
sudah oppa pergi sendiri saja. Kamu sama Elang jaga rumah baik baik. Inget
jangan cekcok lagi oppa pusing dengernya. Ya sudah oppa mau siap siap” balasnya
“oke
oppa ku yang ganteng” ujarku dengan seulas senyum. Setelah memastikan oppa
pergi. “Kamu sih bubar bubar! Memangnya siapa yang bubar?” tanyaku
“aaahhh
gak usah pura pura gitu deh. Hmm ya udah deh aku mau jemput Langit dibandara”
ujarnya
“hah?
Langit? Bukannya dia baru akan datang besok?” tanyaku heran
“tapi
seneng kan?” goda Elang
“hmm
apaan sih, ya udah sana pergi! Jauh jauh sana” kataku dengan tawa.
“oke
deh yakin kamu gak mau ikut buat jemput Langit?” goda Elang sekali lagi padaku
Aku
hanya mengacuhkannya dan melangkah pergi kearah kamar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar