Rabu, 25 Maret 2015

Diorama #Stage 19

Silahkan review cerita sebelumnya di stage 18 J


Aku jadi teringat perbicangan di  hari sebelum Langit pulang saat itu. Saat itu, emm tidak, malam itu kita sama sama ada ditaman belakang memandangi indahnya malam yang bertabur bintang
“uhh dingin yaa” ujar Langit sambil memakai jaket miliknya
“sedikit” ujarku. “jadi besok kamu kembali ke Bali?” tambahku pada Langit sambil memegang segelas coklat hangat ditanganku.
“ya begitulah”, katanya sambil meneguk coklat panas miliknya.”penerbangan pagi…” tambahnya
“aku harap permasalahan kalian, maksud aku kamu, Elang dan Kiara sudah berakhir” jelasku
“tenang. Kita, emm—aku mengerti. Memang tak seharusnya selalu menyalahkan keadaan atas kepergian Kiara. Lagi pula dia pasti sudah tenang dialam sana” ujarnya, “oh iya ceritakan soal Zafi!” tambahnya
“Zafi?” tanyaku untuk memastikan
“iya dia, Elang bilang kamu suka sama dia?”
Apa? Yang benar saja, ih dasar comel. Untuk apa Elang cerita masalah Zafi pada Langit. Awas aja tuh anak.
“oh. Itu sama sekali bukan urusanmu”
“iya aku tahu. Tapi.. ayolah.. sebelum aku pergi? Lagi pula aku tak akan mungkin bertemu dia? Ya..well aku hanya ingin tahu orang seperti apa yang bisa naklukin hati kamu. Karena yang aku tahu dari Elang katanya kamu belum pernah pacaran?”
“ohhh yang benar saja Elang cerita apa lagi sama kamu?” tanyaku mulai geram
“banyak hal” akunya
“apa?” tanyaku dengan suara tinggi
“haha ayolah tell me about Zafi?”
“baiklah. Tapi aku harap kamu gak seember Elang. Zafi itu teman sekelasku semenjak kelas 2. Dia baik, dia pintar, dia selalu ingin berusaha. Tapi jangan pernah tanya aku kenapa dan bagaimana aku bisa punya perasaan padanya. Karena sampai sekarang aku sendiri tak pernah tahu jawabannya”
“baik, pintar dan selalu ingin berusaha? Emm standar”
“hey itu bukan alasan. Lagi pula dia sudah ada yang punya, sahabatku”
“oouu sepertinya ada yang terluka? Haha”
“udah deh gak usah godain aku. Ohi ya Elang pernah  bilang sama aku kalau ada seseorang yang dia sayang, dan aku yakin itu bukan teman satu sekolah, setidaknya sekolahnya yang sekarang. Kamu tahu siapa? Selain Kiara pastinya?” tanyaku
“Elang? Setahuku itu adalah alasan klisenya saat ada yang berusah mendekatkan dia dengan seseorang. Setahuku.” Jawabnya
“oh, jadi dia bohong? Hmm dasar. Huuuhh. Kapan kamu mau ke sini lagi setelah kamu kembali ke Bali?”
“kenapa? Gak rela aku pergi? masih kangen sama aku? haha” goda Langit
“ya itu sebenarnya pertanyaan yang gak perlu kamu jawab” jawabku datar
“mungkin liburan sekolah nanti” balasnya datar, sangat datar
“oh” jawabku singkat
“haha. Aku janji aku bakalan kesini lagi. Lagi pula aku masih ingin berkunjung ke makam Kiara. Tapi nanti kamu temani aku jalan jalan disini oke”
“oh. Baiklah!” jawabku.

Oppa baru saja pamit. Sekarang tinggal aku sendirian dirumah ini. Hmmm. Lebih baik aku memejamkan mata dan terlelap. Tentu saja tak semudah itu aku tidur. Setelah membalas semua sms yang masuk baru rasanya mataku lelah dan Zzzz…
Setelah aku terbangun ternyata ini sudah masuk waktu ashar. Aku langsung menuju kamar mandi tadinya hanya untuk mengambil air wudhu tapi lebih baik sekalian aku mandi juga deh. Setelah selesai aku menuju dapur, tidur membuatku lapar.
Tapi kok dibelakang seperti ada yang sedang asik berbincang. siapa? Oppa? Jelas oppa pergi. Elang? Mungkin dia telah kembali dari bandara. Iya juga dia pergi sebelum oppa, dan menjemput seseorang tentu tidak membutuhkan waktu yang lama. Itu artinya Langit ada disini?.
“Hay Ra! Ngapain kamu bengong disitu. Gak kangen sama aku? Kemarilah!” ujar Langit membuyarkan lamunanku.
“eh, enggak deh kalian lanjutin aja ngobrolnya. Aku mau makan.” Balasku
“makan? Emmm—aku sepertinya juga lapar. Haha” timpalnya. “Lang tega banget sih gak nawarin makan. Laper tahu” tambahnya dengan arah mata pada Elang
“haha ya udah kita makan” ujar Elang
“haha kalian ini. Ayolah kita makan bersama” timpalku dan pergi menuju ruang makan.
“eh bukan nasi goreng seafood ya??? Wah padahal aku kangen banget sama nasi goreng itu” ujar Langit dengan seulas senyum padaku
“makan apa yang ada” balasku datar
“haha, aku kan cuma mancing aja. Kali aja ada yang mau masakin aku lagi. Haha. Oh iya kata Elang kamu cuekin Zafi karena aku?”
“apa? Zafi? Kamu sama dia? Itu jauh. Lagian Elang tahu apa? ” ujarku sambil terkekeh karena ucapan Langit.” Elang tolong berhenti untuk bergossip!” tambahku
“gossip? Aku gak gossip. Haha. Oh iya Zafi udah cerita kalau besok lusa dia mau kesini sama Saka dan Gerza. Kita ada rencana untuk nonton bareng. Langit juga ikut” ucapnya sambil terus makan
“dia hanya berkata akan datang. Baiklah.” Balas kudatar
“baiklah? Kamu gak berminat bergabung?” tanya Langit
“gabung? Jadi kalian harap aku seorang wanita? Sendirian? Diantara kalian?” ujarku
“haha yang benar saja? Kamu ? wanita? Haha” tawa Elang
“huuffff. Lagi pula aku udah janji mau nemenin Zoya, dia akan menjalani operasi besok lusa. Jadi aku akan kerumah sakit. Kalian bisa bersenang senang tanpaku.”
“Zoya? Oh gadis kecil yang pernah kamu ceritakan?” timpal Elang
“yap. Dia operasi besok lusa. Aku harap sangat berharap dia mendapat keberuntunga seperti Vea.” Ujarku
“aku sama sekali tak mengerti ucapan kalian?” tanya Langit dengan wajah penasarannya
“jadi gini, Zira itu salah satu relawan tetap disebuah rumah sakit. Setiap minggunya dia rutin menghibur anak anak disana. Terutama anak anak yang menderita penyakit kanker. Dan Zoya adalah satu dari anak anak itu, kondisi terakhirnya memang melemah” jelas Elang. “ya udah gimana kalau kita batalin aja, kita harus support Zoya dia harus mendapat banyak dukungan bukan?” tambahnya
“ide yang bagus. Lagi pula aku jadi penasaran” ujar Langit
“terserah kalian. Oh iya oppa kok jam segini belum pulang sih kan katanya hanya pergi makan siang” ujarku
“biasalah oppa oppa haha”timpal Elang
“emm kalau gitu aku keatas yaa ada yang harus aku kerjain untuk Zoya” ucapku dan meninggalkan ruang makan.
Semenjak kemarin sore aku memang sedang mengerjakan sesuatu… membuat burung burung kertas dari kertas origami. Zoya suka banget sama origami berbentuk burung. Aku tidak sekedar hanya membuatnya tapi aku juga menulis harapan disana. Banyak orang yang bilang jika membuat 1000 origami maka permohonan kita akan terkabul.
Tapi tentu saja aku tidak mungkin membuat semua itu, jadi aku hanya membuat sampai satu toples berukuran sedang. Toples dari kaca. Toples yang lucu berwarna bening dengan tutup toples yang berwarna pelangi. Aku sengaja membelinya untuk Zoya. Paling tidak aku membuat origami itu sampai toplesnya terisi penuh, dan aku yakin tidak akan mungkin sampai seribu.
Yang terpenting kan doa yang kita beri. Semoga Zoya bisa lebih kuat dari  Vea, agar dia masih bisa merasakan indahnya kehidupan. Terlalu singkat jika dia… ahh gak—dia pasti bertahan dan akan sehat.
“hay! Sorry nih. Ini ada sedikit oleh oleh buat kamu” ujar Langit yang tiba tiba masuk tanpa mengetuk pintu.
“Oh thanks ya simpen aja dimeja” balasku
“sibuk amat! Kayak anak kecil aja masih buat yang seperti itu” ujarnya
“tak apa aku suka!” balasku
“emm oke sepertinya aku mengganggu. Kalau gitu aku permisi”
“sip” jawabku singkat dan masih berkutat dengan kertas kertas origami. Dan Langit sepertinya benar benar pergi haha. Biarkan saja.
Ternyata membuat origami origami ini cukup melelahkan. Dan ini baru mencapai tiga per empat toples padat. Baiklah akan aku lanjutkan nanti.
Oppa sepertinya telah kembali.
Kami berempat makan malam bersama. Obrolan obrolan sedikit tidak menyenangkan terkadang muncul, lagi lagi soal Zafi. Karena itu oppa menjadi penasaran, katanya dia ingin mengenal Zafi. Gara gara Elang dan Langit.
Kita banyak berbincang dimeja makan. Terutama soal Langit. Bagaimana tentang kehidupannya di Bali. Banyak hal yang mengejutkan. Sebelumnya aku tak pernah tahu jika Langit adalah penyanyi kafe, bahkan dia juga pernah jadi pembalap liar, setidaknya itu dulu saat saat kepergian Kiara.
Selepas makan malam, aku kembali kekamarku. Mencoba untuk berbaring membuat diriku merasa nyaman. Tak lama handphoneku bergetar, ada pesan dari… Langit? Untuk apa? Dia bisa saja datang menemuiku jika ingin bicara.

Ra, besok bagaimana? Apa jadwalmu kosong?

Untuk apa dia menanyakan hal itu,

Untuk apa mengirimiku pesan? Kita berada di satu rumah yang sama.ingat?
Besok aku akan pergi ke rumah sakit. Melihat bagaimana keadaan anak anak dan Zoya. Kenapa? Ingin mengajakku pergi? Haha..

Kurang dari satu menit telah ada balasan darinya

Aku malas beranjak dari tempat tidur.
Benarkah? Aku bisa ikut?
Apa kamu ingin aku melakukan itu? Mengajakmu pergi?

Apa maksudnya, dasar…

Bangunlah lebih pagi. Kita akan berangkat jam 8.
Tidak.

Baiklah..
Balasnya singkat.

Tak lama setelah balasan sms dari Langit handphoneku kembali bergetar telepon dari Zafi. Tumben, mengingat dia memang jarang sekali menelepon.

“hallo Assalamualaikum Fi. Ada apa? Malam malam seperti ini menepon?” jawabku
“walaikumsallam. Tidak, hanya saja, emm—apa besok kamu akan kerumah sakit? Rasanya aku ingin kesana.” Ujarnya
“ ya tentu, kita bisa bertemu disana jam 8. Apa Elang sudah memberitahu jika kita besok lusa akan menemani seorang anak yang akan menjalankan operasi?”
“iya, aku sudah tahu. Baiklah. Kita berangkat bersama, besok aku kerumah oke!”
Sebelum sempat aku menjawab atau lebih tepat menolaknya dia langsung menutup teleponnya.
Baiklah kita lihat besok saja.
Lebih baik aku melanjutkan pekerjaan melipat kertas lagi. Karena aku berencana untuk memberikan pada Zoya besok. Lagi pula hanya tinggal sedikit lagi sampai toplesnya akan terisi penuh.
Aduh rasanya tanganku sudah mulai keriting. Ini baru jam 11 malam, baiklah ini harus selesai malam ini.
“Ra, belum tidur?” tanya oppa melewati pintu kamarku
“hay oppa! Sebentar lagi. Oppa gak lihat aku masih sibuk hehe” ujarku dengan tetap bermain dengan kertas kertas ini
“baiklah jangan terlalu malam. Tidurlah” jelas oppa lalu menutup pintuku kembali setelah aku memberikan senyumanku.
Ahh akhirnya selesai juga. Aku terus menggerakan tangan keatas dan kebawah mencoba meregangkan otot ototnya. Waduhhh ini sudah menunjukan pukul jam 1 pagi. Sebaiknya aku pergi tidur.
Alarm di handphoneku membuatku tersadar dari bunga tidurku. Huuaaaammm. Baiklah ini sudah menunjukan pukul 05.30 sebaiknya aku langsung mengambil air wudhu.
Selesai mandi aku langsung menemui oppa yang seperti biasa sudah menyibukan diri di kebun mawarnya
“oppa. Makan dulu yuu!” sahutku sambil menghampiri sosok renta itu
“baiklah, oppa cuci tangan dulu”
“oppa aku boleh ambil beberapa tangkai kan? Buat Zoya oppa. Hari ini aku akan pergi kerumah sakit”
“baiklah oppa ambilkan. Kamu perlu berapa tangkai?”
“emm—8 ? mungkin? Hehe.”
“oke.” Jelas oppa singkat
“Ra, Zafi tuh!” sahut Elang yang tiba tiba muncul dari dapur
“Zafi?” jawab aku dan oppa bersamaan
“ini masih pukul 7, untuk apa dia datang sepagi ini. Ya udah oppa, aku kesana dulu ya” ujarku
 Baiklah, saat aku berjalan kearah ruang tamu terlihat tiga orang cowok sedang asik mengobrol. Zafi, Elang dan Langit.
“hay! Apa kemarin aku salah memberitahu?” ujarku sambil mendekat kearahmereka
“tidak. Kamu bilang jam 8 kan? Haha. Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Elang” ujarnya
“baiklah, kalau begitu aku akan tinggalkan kalian. Elang seharusnya kamu tidak memanggiku.” Ucapku sambil mengangkat halisku
Dan setelah itu sama sekali tidak ada tanggapan dari mereka sama sekali tidak ada!
“eh oppa ya ampun maaf oppa” ujarku setelah hampir menabrak oppa
“ini, jadi itu Zafi?” ucap oppa dengan memberikan mawar mawar yang aku minta
“iya oppa, ya udah deh oppa aku kekamar deh” ujarku sambil melangkah pergi.
Lebih baik aku mandi dan bersiap siap. Setelah selesai loh kok mereka bertiga hilang
“oppa, oppa lihat Elang sama yang lainnya?” tanyaku pada oppa yang sedang duduk santai diruang Tv
“oh.mereka tadi udah pergi, tapi mereka gak bilang akan pergi kemana. Oppa kira kamu juga ikut!” jawab oppa dengan masih terfokus pada koran ditangannya
“oh gitu oppa. Ya udah Zira pamit ya oppa, Zira kerumah sakit dulu. Oh iya ada yang oppa pengen beli? Biar nanti Zira beliin pas pulang dari sana” ujarku.
“tidak usah. Pergilah, hati hati ya” balas opa
“oke. Assalamualaikum oppa”
“walaikumsalam” jawab oppa
Apa? Yang benar saja mereka pergi? Ah sudahlah, mereka memang sangat menyebalkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar